Sekilas Profil Pimpinan
Dari Desa dan Pesantren :
Siapa yang menyangka bahwa orang desa terpencil dapat memimpin Bawaslu di Jawa Timur. Reformasi telah membuka lebar segalanya menjadi mungkin untuk orang yang terus berproses. Karena proses tidak akan pernah sekali-kali mengkhianati terhadap hasil. Orang tuanya memberi nama Moh. Amin. Lahir di Desa Talang Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep pada tanggal 06 Nopember 1971. Dari Jalan Tanggulangin No.3, Keputren, Tegalsari, Kota Surabaya membutuhkan waktu 3 jam 22 menit. Dengan jarak 162km tidak pernah akan membayangkan sebelumnya bahwa Amin akan memimpin Bawaslu Jawa Timur.
Selain besar dari lingkungan pedesaan, Amin memulai proses belajarnya di Madrasah Ibtidaiyah di kampungnya. Sebagai mana anak-anak di desanya, lepas dari Madrasah Ibtidaiyah akan melanjutkan di Pesantren. Amin juga mondok di Pondok Pesantren At Taufiqiyah. Salah satu pondok yang cukup terkemuka di Sumenep. Sambil nyantri, Amin juga menyelesaikan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di pondoknya ini.
Satu lompatan penting dari sejarah Amin adalah keberaniannya untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Memang dalam tradisi Madura, terdapat dua perintah dari tetua desa. Yakni abhejeng asakolah cong. (shalat dan sekolah nak).
Namun tidak banyak yang sepantaran dengan Amin yang berani kuliah di tahun ketika Amin memberanikan diri merantau ke Surabaya. Amin kuliah di S1 Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya sejak 1991 hingga pada tahun 1996. "Saya melanjutkan ke jenjang Magister. Saya lulus pada tahun 2002 pada Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan Konsentrasi Pendidikan Islam." Ungkapnya.
Selain jenjang pendidikan di lembaga formal. Amin juga menambah prosesnya pada Madrasah Diniyah. Pesantren dan Madrasah Diniyah nampaknya yang banyak membentuk diri Amin hingga sekarang. "Orang tua, para Ustad, Kiai dan tokoh agamalah yang memberikan penguatan basis akidah dan keimanan dalam menghadapi tantangan dan cobaan kehidupan dari saya kecil." Ceritanya.
Sebelum menjabat sebagai Ketua Bawaslu Jawa Timur, Amin menjadi tenaga mengajar di STIT Al-Karimiyah Beraji Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep sebelumnya juga aktif dalam mengajar pada INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep.
Selain di kampus, Amin bekerja sebagai tenaga kontrak pendampingan pada Program Pemberdayaan Masyarakat BAPEMAS Provinsi Jawa Timur dengan wilayah tugas di Kabupaten Sumenep sampai dengan tahun 2014.
Sedangkan di kegiatan Pemilihan Umum termasuk Pilkada Umum termasuk Pilkada maupun Pilpres, sebelumnya Amin selalu terlibat aktif sebagai penyelenggara tingkat kecamatan sebagai Ketua Panwascam Saronggi sampai dengan tahun 2014, dan pada tahun 2015/ 2016 dia terpilih sebagai Panitia Pengawas Kabupaten Sumenep pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sumenep saat Pilkada Serentak Tahap Pertama tahun 2015.
Aktifitas lain adalah dunia organisasi. Ada beberapa jenis organisasi yang pernah dijalaninya antara lain sebagai Pengurus Cabang LP. Ma'arif NU Kabupaten Sumenep sebagai Wakil Ketua, Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep sebagai Ketua, Dewan Pimpinan Daerah PWRI Provinsi Jawa Timur sebagai anggota dewan pembina. Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (LP2PEM) di Sumenep sebagai Direktur.
Seluruh kegiatan organisasi yang dijalani olehnya dengan terpaksa Amin harus mengajukan pengunduruan diri karena tuntutan undang-undang harus bekerja penuh waktu sejak menjabat sebagai Ketua Bawaslu Jawa Timur.
Pada tahun-tahun sebelumya, sejak dibangku kuliah, Amin pernah terlibat aktif sebagai Pengurus Wilayah Lesbumi PWNU Jawa Timur, serta organisasi-organisasi kegiatan Mahasiswa instra kampus semisal Senat Mahasiswa dan Majalah Mahasiswa serta kegiatan Ektra Kampus di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Dalam pengakuan Amin, seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam penanaman nilai-nilai dan karakter hidup adalah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Gus Dur merupakan contoh dalam teladan pengabdian kepada agama, nusa dan bangsa tanpa pamrih. Nilai-nilai pluralisme, toleransi dan mempertahankan menghormati hukum dan undang-undang dalam menjalani kehidupan beragama dan bernegara sangat membekas dalam pemikiran dan pola perjuangan Amin di masa depan. Sikapnya yang tegas dalam menjunjung nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat selalu memberikan inspirasi baginya.
Penyelenggaraan Pemilihan Umum menurut Amin adalah sebuah pesta demokrasi yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan penyelenggara, pemerintah dan masyarakat. Artinya situasi, kondisi pesta demokrasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemahaman integral dan komprehensif masing-masing elemen terhadap urgensi Pemilu dan keberlangsungan roda pemerintahan kedepan baik di tataran pusat dan daerah. Partisipasi setiap elemen dalam menyukseskan pesta demokrasi sangat berpengaruh pada hasil yang akan dicapai.
Sering kali Pemilu dilaksanakan dengan minimnya sosialisasi undang-undang Pemilu kepada segenap elemen yang terlibat. Hal ini seringkali menjadikan penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati sering terjadi pelanggaran.
"Pelanggaran pemilu ini bisa menyangkut hal-hal teknis atau bahkan hal-hal yang krusial. Jadi kurangnya pemahaman dan undang-undang pemilu menjadi faktor terjadinya pelanggaran." ujarnya.
Disamping itu, penegakan hukum bagi pelanggar pemilu yang terkesan asal-asal dan tebang pilih. Hal ini menjadi trigger maraknya pelanggaran pemilu di banyak tempat. Penegakan hukum yang menyeluruh dan tanpa mengenal kompromi inilah yang seharusnya dijalankan. Sehingga kesan Penyelanggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati selalu menjadi ladang pelanggaran bisa dihindarkan. Dan asumsi bahwa ada pelanggaran yang bisa ditolerir dan bisa ditolerir akan terhapuskan dengan sendiri jika hukum berjalan dengan baik dan benar.
Melihat urgensi dari Pemilu sebagai pesta demokrasi yang melibatkan semua elemen bangsa, maka pelanggaran-pelanggaran sekecil apapun mesti dihindarkan. Artinya semua pihak yang berkepentingan dalam hal ini mesti bekerja sama dalam mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil serta dapat dipertanggungjawabkan. Karena Pemilu yang banyak pelanggaran akan menyisakan problematika yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu yang dicapai.
Secara otomatis kepercayaan (trust) masyarakat dan segenap elemen terhadap hasil pemilu yang banyak pelanggaran akan terciderai dan akhirnya partisipasi dan peran serta masyarakat terhadap pemerintah yang dihasilkan dari pemilu tersebut akan jauh dari apa yang diharapkan.
"Pemilu yang banyak pelanggaran bisa dikategorikan sebagai pesta demokrasi prosedural yang hanya sukses pada tataran teknis namun gagal membangun kepercayaan dan partisipasi masyarakat." Paparnya.
Lebih jauh, Amin melihat bahwa potensi kecurangan bisa dilakukan oleh penyelenggara dan perserta pemilu. "Nanti kita petakan potensi kecurangan itu. Bawaslu telah membuat analisa tentang Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang bisa mencegah berbagai kecurangan oleh peserta atau penyelenggara pemilu."
Di sisi lain, Amin juga menuturkan, bahwa pengalamannya sebagai aktivis yang bergelut dalam berbagai bidang sosial, politik, agama dan budaya dan disertai dengan proses terus-menerus dalam berorganisasi telah memberikan kontribusi pada penguatan karakter pribadi yang kredibel, berintegritas dan memahami pola-pola hubungan komunikasi yang baik dengan pihak lain. Disamping pemahaman akan pentingnya Team Work yang kuat dalam mencapai sasaran dan tujuan yang akan dicapai. Perencanaan, penyusunan program, pengawasan, penyelesaian masalah dan evaluasi yang baik sangat dibutuhkan didalam mencapai keberhasilan kegiatan. " Modal inilah yang bermanfaat bagi saya sebagai Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Timur Periode tahun 2017-2022." pungkasnya.
Ibarat lukisan, perjalanan hidup penuh dengan warna
Ibarat lukisan, perjalanan hidup Aang Kunaifi penuh dengan warna. Pernah menjadi santri mbethik yang didoakan sang kiai, kini sosok muda ini mendapat amanah menjaga marwah demokrasi di Jawa Timur.
"Saya merasa sangat beruntung karena pernah dikirim oleh orang tua untuk mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Mambaus Sholihin, Gresik. Tak hanya belajar agama, disinilah saya berkenalan dengan nilai-nilai integritas, aktivisme dan humanisme." Itulah salah satu ungkapan Aang Kunaifi saat mengawali kisahnya tentang perjalanan karirnya. Bersama empat koleganya, Arek asli Suroboyo itu kini menjadi komisioner Bawaslu Jatim periode 2017-2022.
Terlahir dari keluarga yang sederhana di pesisir timur Kota Surabaya pada tahun 1986 silam, Aang merupakan anak tertua dari tiga bersuadara. Sejak kecil, Aang tumbuh melalui didikan keluarga berlatar belakang Nahdliyin yang religius namun penuh disiplin. Karena itu, menjadi hal yang lumrah ketika dia diwajibkan orangtuanya untuk mengenyam pendidikan pesantren. Meski mematuhi tuntunan orang tua agar dia mondok, Aang kecil tetaplah seperti anak-anak pada umumnya kala itu. Di lingkungan pesantren, dia di kenal sebagai sebagai anak mbethik (nakal). Banyak temanya di pesantren yang kerap menjadi korban 'kreativitas' khas anak-anak zaman itu. Namun, dari sekian aksi mokong-nya, ada satu peristiwa yang benar-benar mengubah jalan pemikirannya. "Dulu setiap sore saya sering mangkir dari kegiatan rutin sholat ashar berjama'ah. Saya biasa duduk di tepian jalan tol Surabaya-Gresik," kisahnya.
Sambil duduk di tepian jalan tol, ia sering melempari mobil yang melintas dengan ranting-ranting pohon. Setelah melakukan aksi jahilnya biasanya dia bersembunyi disebuah lapangan tempat para santri bermain bola. Suatu ketika, Aang menjalankan 'rutinitas'nya. Sebuah mobil berwarna putih dilemparinya dengan ranting pohon. Setelahnya, dia lari dan berbaur dengan rekan-rekannya di lapangan. Tanpa dinyanam ternyata mobil yang tersebut berhenti dan menghampiri para santri di lapangan. Yang membuat makin kaget, mobil itu ternyata ditumpangi salah satu kiai di pondok itu. "Kiai pun lantas bertanya siapa yang melempari mobilnya," katanya. Biasanya rekan-rekan Aang sesama santri selalu melindunginya. Namun kali ini, para santri tidak ada yang berani berbohong pada sang Kiai. "Sayapun akhirnya mengaku.", kenangnya.
Awalnya, Aang sudah pasrah jika dimarahi atau dihukum. Namun, prediksinya salah. Bukannya marah, sang kiai hanya mengelus telinga dan menggosok rambutnya sembari berkata dengan jawa "InsyaAlloh jenengan dados tiang ingkang sae (InsyaAllah kamu akan jadi orang baik)," kata Aang menirukan ungkapan sang kiai saat itu. Respon kiai yang malah mendoakannya itulah yang kemudian membuatnya benar-benar tersadar. Tak hanya jera berbuat jahil lagi pada rekannya, Aang makin serius untuk menimba ilmu di pesantren.
Tak hanya itu, di pesantren pula kekaguman Aang terhadap intelektualitas dan nilai-nilai religi para ulama makin kuat. Termasuk terhadap sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). "Selain intelektualitasnya, nilai-nilai yang beliau ajarkan menjadi inspirasi dan pedoaman saya hingga kini," katanya.
Sejak remaja, Aang sangat tertarik belajar hukum. Memang, awal mula ketertarikanya karena alasan yang sangat simpel. "Saya kurang mampu mempelajari ilmu eksak dan matematika semasa SMA. Namun saya tertarik dunia hukum," katanya. Atas ajakan kawannya, ia memutuskan untuk masuk Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Yayasan Pendidikan Sosial dan Maarif (STIH-YPM) Sidoarjo. Ketertarikan untuk terhadap ilmu hukum makin kuat. Sampai akhirnya dia melanjutkan pendidikan Magister Hukum di Universitas Sunan Giri Surabaya. Bahkan, usai lulus, Aang memutuskan untuk berkecimpung di dunia itu. Dia mulai mengajar di kampus yang menjadi almamaternya semasa menempuh S-1 dulu. Ia juga tercatat aktif sebagai pengurus di Lembaga Bantuan Hukum PW GP Ansor Jawa Timur dan Lembaga Penyuluh dan Bantuan Hukum PW Nahdlatul Ulama Jawa Timur. "Belajar hukum itu menarik. Apalagi saya menemukan bahwa segala hal itu selalu berkenaan dengan Law dan Order," katanya. Selain dunia hukum, Aang juga memiliki ketertarikan di dunia politik. Karena itu, sejak SMA, dia sudah terlihat dalam kegiatan pemilu.
Baginya, dunia hukum dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Dia meng-analogikan bahwa kehidupan itu tak ubahnya lokomotif yang harus bergerak. Sedangkan hukum adalah relnya. "Analogi itu juga berlaku dalam konteks pemilu dan demokrasi. Sebab sistem demokrasi tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya rule of the law" kata ayah dua anak ini. Pandangan itu pula yang dijadikannya sebagai salah satu dasar pemikirannya dalam menyusun tesis saat menempuh pendidikan S-2 di Universitas Sunan Giri Surabaya. Saat itu, Aang mengambil tema tentang "Efektivitas Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah".
Menurutnya, pemilu merefleksikan hubungan erat antara negara demokrasi dan negara hukum. Sebab inti dari demokrasi adalah pelibatan rakyat dalam pembentukan dan penyelenggaraan pemerintah melalui partisipasi, representasi dan pengawasan. Melalui pemilu pula, wakil rakyat terpilih akan memiliki kewenangan membentuk produk hukum sebagai dasar penyelenggaraan negara. Selain itu, pemilu juga merupakan representasi pelaksanaan ciri negara hukum yang lain, yaitu pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak untuk memilih dan dipilih, serta wujud dari persamaan hak warga negara dihadapan hukum dan pemerintahan (equality before the law). Benang merah antara hukum dan demokrasi inilah yang membuatnya tergerak untuk makin aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan kepemiluan. Semangat ini pula yang coba ditularkannya pada seluruh mahasiswanya di Fakultas Hukum Universitas Ma'arif Hasyim Latih di Sidoarjo.
Aang mulai menapak karir sebagai penyelenggara semenjak menjadi KPPS pada tahun 2004. Kala itu ia baru saja lulus bangku SMA. Dari sana minatnya pada isu penyelenggaraan pemilu menguat, sehingga saat menjadi mahasiswa, ia bersedia menjadi relawan pemantau pemilu 2009. Setelah itu, intensitas Aang terlibat dalam kegiatan kepemiluan makin tinggi. Di tahun 2013, Aang menjadi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di Kecamatan Bulak Kota Surabaya untuk penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur tahun 2013 dan berlanjut hingga Pileg-Pilpres 2014.
Aang juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemantauan kegiatan kepemiluan. Ditahun 2015, Aang menjadi Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kabupaten Sidoarjo. Waktu itu, dia terlibat dalam pemantauan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten di wilayah tersebut. Setelah itu, bersama KIPP, dia terlibat dalam pemantauan sejumlah Pilkada di Jatim. Di antaranya Pemilihan Walikota dan Wakil walikota di Kota Batu. Atensi besarnya terhadap dunia pemantauan kepemiluan itulah yang mendorongnya untuk maju dalam seleksi calon anggota Bawaslu Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017. "Atas izin Allah dan doa restu orangtua, saya mendapat amanah ini," katanya.
Bagi Aang, menjadi anggota Bawaslu memiliki arti yang sangat besar. Sebab, Keberadaan Bawaslu sangat strategis untuk memaksimalkan fungsi pencegahan dan penindakan jika ada pihak yang memang melakukan dugaan pelanggaran. Selain kewenangan tersebut, melalui UU 7 tahun 2017 Tentang Pemilu, lembaga pengawas pemilu memiliki kewenangan penyelesaian sengketa proses administrasi Pemilu. "Ini kewenangan yang luar biasa bagi Pengawas Pemilu," katanya.
Karena itu, dia berharap semoga segala kewenangan yang dimiliki dapat memberikan perbaikan dalam perkembangan demokrasi. "Adalah tugas Bawaslu mewujudkan keadilan pemilu, agar 6 (enam) asas penyelenggaraan pemilu yang tertuang dalam konstitusi benar-benar dapat diaplikasikan dengan baik sehingga cita pemilu demokratis dapat terwujud," katanya.
Aang menilai, makin strategisnya peran Bawaslu harus dilihat sebagai tanggung jawab yang besar. "Harus dilaksanakan dengan sebaiknya agar keadilan pemilu bisa ditegakkan. With the great power comes great responsibilities. Kekuatan besar membuat tanggung jawab kita juga besar," ujarnya menyitir frasa yang sangat terkenal dari Uncle Ben, tokoh fiksi dalam film Spiderman.
Anak mbethik yang kini menjadi
Penjaga Demokrasi
Disiplin tinggi dan keharusan mandiri :
Karakter yang keras dan tegas seakan tidak bisa dipisahkan dari sosok satu ini. Tidaklah mengherankan, Totok Hariyono, SH lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga militer. Sebagai anak tentara yang kerap ditinggal tugas ayahnya keluar pulau, Totok sudah terlatih hidup dengan disiplin tinggi dan keharusan mandiri.
"Saya anak ke empat dari enam bersaudara, anak tentara berpenghasilan pas-pasan yang terbiasa hidup susah. Untuk bertahan hidup, orang tua mengajarkan saya agar bisa melakukan semua sendiri, tidak menunggu dan bergantung pada orang lain. Sedari kecil saya terbiasa mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga mulai dari menyapu, mengepel, mencuci baju, bahkan memasak. Itu pasalnya, sampai sekarang saya suka beres-beres, tidak suka melihat barang kotor berantakan," kisahnya.
Meski asrama tentara adalah lingkungan dominan yang menempa dan membentuk dirinya hari ini, Totok mengaku tidak kehilangan masa indahnya remajanya. Ia dan teman main masa kecilnya, sesama anak tentara yang tinggal di asrama, juga melakukan kegiatan layaknya remaja lainya. Mereka gemar mengeksplorasi hal baru, bermain musik, belajar dan main game bareng. "Bedanya cuma kami anak asrama lebih jago gelut. Buat kami saat itu, anak tentara tapi kalah berantem adalah hal yang memalukan." kenang Totok.
Jiwa nasionalis mengalir kental dalam darah pria kelahiran 49 tahun lalu ini. Bukan saja oleh didikan ayahnya, gelora jiwa muda mendorongnya bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) semasa ia menempuh studi di IKIP PGRI Malang. Kepedulian terhadap kondisi sosial politik dibawah rezim Orde Baru yang dinilainya sangat represif dan otoriter saat itu memantapkan pilihannya pada organisasi Marhaenis ini. Disini pula ia belajar gerakan mahasiswa, membangun jaringan antar kelompok pro demokrasi dan mengkonsolidasikan cita-cita Indonesia yang lebih baik.
totok juga beranggapan, ditengah tekanan rezim totaliter, pers dapat menjadi alat perjuangan yang efektif, strategis dan ideologis. Sehingga ia gembira luar biasa saat diterima menjadi wartawan di harian pagi Memorandum pada tahun 1987. Di media besutan H. Agil H. Ai (Alm) ex exponen Angkatan 66' itu jiwa aktivis dan aktivitasnya terwadahai baik. Di salah satu dinding kantor media itu terukir puisi yang diakuinya menjadi sumber inspirasi dan terus membakat semangatnya.
'Di sini berkerja para pendiam yang berteriak ketika keadilan terluka, ketika kebenaran tersisihkan. Disini berkerja para pendiam yang bergemuruh menciptakan kebebasan, berdiri di lapangan kejujuran dan keberanian, dan menjaga martabat kemanusiaan. Disini berkerja anak bangsa yang baik walupun bukan yang terbaik'.
Karir Totok sebagai jurnalis berakhir ketika ia memutuskan mundur dari Memorandum lembaga yang membesarkannya selama 20 tahun, ketika dirasa arah industri pers tak lagi bisa mewadahi idealismenya. Saat itu, ia berada di puncak karirnya sebagai pemimpin redaksi Arema. "Saya memilih kembali ke dunia hukum sebagai advokat dan mendirikan berbagai kelompok studi dan kajian di Malang. Saya juga sempat aktif dibeberapa program pemberdayaan ekonomi rakyat di Jawa Timur seperti PAM DKB, JAPES 1 & 2, Jalin Kesra dan sebagainya. Yang penting idealisme saya terpelihara," katanya.
Totok dikenal sebagai pribadi yang blak-blakan dan kerap tidak berkompromi terutama menyikapi praktik buruk yang secara norma tidak dapat ia terima, misalnya praktik kecurangan, manipulasi dan kolusi. Apalagi bekerja di dunia penyelenggara dimana ia terikat kewajiban menegakkan peraturan penyelenggara pemilu. Disana dirinya dituntut agar mampu bertindak tegas terhadap siapa pun, kapan pun dan dimana pun, menindak mereka yang berani menciderai demokrasi.
"Janganlah kepercayaan publik kita ciderai dengan penyelenggaraan pemilu yang tidak berintegritas. Pemilu itu jembatan emas kita untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Tanpa integritas, pemilu akan penuh kecurangan dan kita pasti balik ke titik nol seperti sebelum reformasi," tegasnya.
Totok meyakini, integritas adalah yang tidak boleh ditawar-tawar oleh setiap penyelenggara. Tanpa integritas, pemilu akan penuh dengan kecurangan dan kita pasti balik ke titik nol seperti sebelum reformasi," tegasnya.
"Disini nilai penting menjadi anggota Bawaslu. Sebab menjadi pengawas berarti harus bisa menjadi pengawal demokrasi terpercaya agar pergantian kepemimpinan dapat berlangsung aman, baik dan diterima rakyat. Dengan demikian tradisi demokrasi terjaga dan kita terhindar dari pemerintahan yang korup, otoriter, dan menindas seperti di masa Orde Baru dulu" ujar mantan Panwaslu Kab. Malang tahun 2004, Panwaslu Pilkada Kab. Malang 2005, Panwaslu Gubernur/ Wakil Gubernur 2008, dan mantan anggota KPUD Kab. Malang 2009 hingga 2014 ini.
Janganlah kepercayaan publik kita ciderai dengan penyelenggara pemilu yang tidak integritas.
Pemilu itu jembatan emas kita untuk menjadikan lebih baik.
Alhamdulillah, ini mimpi yang menjadi nyata
Senyum lebar bertengger di wajah Muh Ikhwanudin Alfianto, saat mendapati namanya berada pada deretan anggota Bawaslu Jawa Timur terpilih, 13 Juli 2018 Ikhwan, demikia ia biasa dipanggil, seolah tidak percaya. Dua kali ia mengulang membaca, memastikan namanya yang ada di pengumuman melalui website Bawaslu RI itu. "Alhamdulillah, ini mimpi yang menjadi nyata", ujarnya.
Menjadi anggota Bawaslu Jatim mungkin tidak pernah terbayang dalam cita-cita masa kecilnya. Tapi, menurut Ikhwan, ini pencapaian yang menggenapi karirnya sebagai penyelenggara pemilu. Bagi mantan Ketua KPU Kabupaten Ponorogo itu, 8 tahun di KPU memberinya penguasaan terhadap detail teknis penyelenggara pemilu. Sekarang di Bawaslu, pemahaman tentang pengawasan dan penanganan pelanggaran akan semakin memantapkan langkahnya menjadi pengawal demokrasi di Jawa Timur.
Isu pemilu nampaknya sudah menjadi passion bapak tiga anak ini. Bermula dari relawan yang memantau pemilu 1999 saat masih mahasiswa, kiprahnya dalam pemantauan pemilu terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Ketika perhelatan Pilpres langsung pertama di Indonesia tahun 2014, Ikhwan dipercaya rekan-rekannya menjadi Koordinator Pemantau Pemilu di Kabupaten Ponorogo. Ikhwan juga terlibat aktif dalam pemantauan Pilkada 2005, Pilkada 2008, dan Pemilu tahun 2009 sebelum akhirnya memutuskan mengikuti seleksi sebagai penyelenggara pemilu (KPU) di tahun 2009.
Anak pertama 5 saudara ini sedari kecil sudah menunjukkan prestasi. Bukan hanya prestasi akademik, periah NEM tertinggi se-Rayon MTsN Ponorogo tahun 1994 ini mencatat segudang perhargaan. Misalnya juara menulis Khat Al-Qur'an se-Kabupaten Ponorogo sat masih duduk di Madrasah Ibtida'iyah Plalangan, finalis Cerdas Cermat Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) se-Jawa Timur tahun 1995 mewakili MAN 1 Jember, dan sebagainya. Hoby sepak bola dan tenis meja, di kampung juga mengantakannya meraih penghargaan walau belum sampai tingkat Kabupaten.
Bagi pemakai kacamata minus ini, keharusan bersekolah di Madrasah adalah karena mematuhi perintah Bapaknya yang tidak mengijinkannya bersekolah di SMP Negeri. Patuh pada orang tua (yang diyakini Ikhwan akan mendatangkan berkah), membuatnya bersepeda sejauh 5 kilometer dijalan berliku naik turun menyeberang sungai, demi menuntut ilmu. Tak jarang, ia harus menggulung celana dan membungkus sepatu dalam tas plastik saat debit air sungai sedang meninggi.
Prestasinya semasa di MTs membuat Ikhwan masuk program penjaringan MAPK/MAK Man 1 Jember. MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) tidak lain adalah pilot project nasional gagasan Menteri Agama saat itu (H. Munawir Sadzali) awalnya di 5 provinsi yang menerapkan kurikulum komprehensif berbahasa Arab dan Inggris, tujuannya menyiapkan kader ulama dengan wawasan keislaman, keIndonesiaan, dan kemodernan. Ikhwan adalah angkatan ke-8 program ini. MAPK sendiri sudah melahirkan banyak alumni, diantaranya M. Afifudin (Bawaslu RI), Pramono Ubaid Tantowi (KPU RI), Burhanuddin Muhtadi (Pengamat Politik), Teuku Kemal Pasha (Antropolog), Habiburahman El-Sirodzi (Penulis Novel), dan banyak lainya.
Di sekolah inilah ikhwan mulai mengenal organisasi. Persentuhan pertamanya adalah dengan Ikatan Remaja Muhammdiyah (IRM). Intensitasnya di organisasi sebagai Ketua Bidang Dakwah Pimpinan Daerah Kabupaten Jember menyita hampir sebagian besar waktu luangnya. Dia juga dipercaya mengemban amanat sebagai pengurus asrama MAPK Jember. Di organisasi inilah ikhwan muda bertemu jodohnya, Zulaikha Agustina. Saat ini, usia pernikahannya masuk ke tahun 15, "Bukan cinta monyet, walaupun saat ketemu itu masih kelas dua MAN. Karena belum ada HP, saat itu hubungan kami masih surat-suratan. Kalau dihitung bisa ratusan surat, lebih dari 1 rim kertas," ungkap wisudawan terbaik STAIN Ponorogo tahun 2001 ini sambil tertawa kecil mengenang kisah cintanya.
Pegiat Pers Mahasiswa semasa kuliah ini bergabung dengan sebuah NGO di Ponorogo, LP3M Algheins. Dimulai saat menjadi volunteer pada program SPHA (Sanggar Perlindugan Anak) - PLAN International, Fasilitator Program CBSA (Community Based Sustainable Agricultural) dan SRI (System of Rice Intesification) - WE-USA, Tenaga Ahli Program PIDRA ( Partisipatory Integrated Development in Rainfed Areas) - Departemen Pertanian RI -IFAD - Italy dan Koordinator Program Pengembangan Pembelajaran HAM bagi Guru SLTA - UNDP Jakarta. Sementara aktivitas sosialnyam disamping pernah menjadi pengurus di Organisasi Kepemudaan dan Keagamaan (KAHMI dan Muhammadiyah) adalah menjadi Anggota Dewan Daerah (DD) WALHI Jawa Timur, sebuah NGO yang bergerak/ fokus pada advokasi Lingkungan Hidup di Provinsi Jawa Timur.
Bagi Ikhwan, tantangan Pemilu 2019 haruslah dihadapi dengan optimis dan penuh perhitungan. Pertama, seluruh komponen bangsa harus optimis bahwa hajat besar pergantian kepemimpinan di negeri ini akan berlangsung aman dan damai serta berlangsung dengan demokratis. Pemilu tidak boleh dilihat hanya secara prosedural saja, lebih dari itu harus dimaknai secara substansial. Artinya, pemilu harus betul-betul menjadi sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat sesuai amanat konstitusi. Hal ini menuntut partisipasi aktif dari semua pihak, termasuk masyarakat dan peserta pemilu untuk mendorong terwujudnya pemilu yang demokratis, berkualitas, tanpa hoax, tanpa ujaran kebencian, tanpa money politic dan seterusnya.
Salah satu agenda Kordinator Divisi Penanganan Pelanggaran ini adalah penguatan Sentra Gakkumdu sebagai ujung tombak penanganan pelanggaran pidana pemilu. Gakkumdu yang terdiri dari 3 unsur, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan perlu diperkuat terutama dari aspek koordinasi lintas institusi dan kesamaan langkah penanganan pelanggarannya.
Disamping itu, upaya pengawasan dan pencegahan pelanggaran pemilu harus terus dilakukan dan melibatkan banyak pihak. "Bawaslu harus tegak lurus dalam menegakkan hukum pemilu. Tidak boleh tebang pilih, semua jenis pelanggaran harus ditindak tanpa pandang bulu. Pendek kata semua lini mulai dari pencegahan, pengawasan dan penindakan harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, agar keadilan pemilu bisa tercapai. Sebab jika tidak, mimpi kita akan pemilu 2019 yang berlangsung aman, damai, jujur dan adil susah terpenuhi," ujaranya penuh harap.
Pemilu tidak boleh dilihat hanya secara prosedural saja, lebih dari itu harus dimaknai secara substansial. Artinya, pemilu harus betul-betul menjadi sarna pelaksanaan kedaulatan rakyat sesuai amanat konstitusi. Hal ini menuntut partisipasi aktif dari semua pihak, termasuk masyarakat dan peserta pemilu untuk mendorong terwujudnya pemilu yang demokratis, berkualitas, tanpa hoax, tanpa ujaran kebencian, tanpa money politic dan seterusnya
Mimpi Besar - Anak Kampung
Rabu 25 Juli 2018 menjadi hari yang bersejarah :
Rabu 25 Juli 2018 menjadi hari yang bersejarah bagi Eka Rahmawati. Hari itu ia berdiri bersama 80 orang komisioner terpilih lainnya dari 34 provinsi mengikuti prosesi pelantikan anggota Bawaslu Provinsi Se-Indonesia di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Eka bersama ketiga rekannya, Nur Elya Angraini, Purnomo Satriyo Pringgodigdo, dan Mohammad Ikhwanudin Alfianto adalah empat anggota Bawaslu Jatim hasil penambahan masa bakti 2018-2023, menggenapi jumlah komisioner Bawaslu Jatim menjadi 7 orang sesuai amanat undang-undang.
Menjadi anggota Bawaslu menjadi tantangan tersendiri bagi Eka. Meski tidak asing dengan dunia politik, sosok yang lebih dikenal sebagai aktivis perempuan ini mangaku, menjadi anggota Bawaslu ini adalah pertama kali dirinya bersentuhan langsung dengan teknis penyelenggaraan pemilu. Sehingga, ia dituntut extra cepat beradaptasi dengan posisinya yang baru.
Sebelumnya, pengalaman Eka lebih banyak pada pendidikan HAM dan politik untuk pemilih (voters education), dan pembekalan pengetahuan sistem pemilu dan strategi pemenangan untuk para calon legislatif perempuan yang dilakoni sejak awal tahun 2000-an, dan sekali saja bersentuhan dengan isu pemantauan pemilu pada tahun 1999. "Sebetulnya saya pernah mendaftar menjadi anggota KPU Jawa Timur tahun 2013 tapi tidak lolos di 20 besar. Terus mendaftar KPU Surabaya, tapi perjuangan saya juga terhenti sampai 10 besar saja," ujarnya.
Menurut Eka, tantangan yang dihadapinya sebagai anggota Bawaslu bukan saja akselerasi penguasaan teknis kepemiluan mengingat tahapan Pemilu 2019 yang sudah berjalan, namun juga harapan masyarakat yang begitu besar terhadap lembaga ini, disamping regulasi yang terus berubah.
"Ekspektasi publik sangat tinggi terhadap pelaksanaan pemilu yang berintegritas dan berkualitas. Apalagi, terdapat trend makin beragamnya modus kecurangan atau pelanggaran pemilu di masa ke masa. Maka Bawaslu dituntut untuk membuktikan diri. bahwa dengan kewenangan baru yang dimiliki lembaga ini akan mampu memenuhi ekspestasi publik itu. Misalnya lewat strategi efektif untuk pencegahan dan pengawasan pelanggaran, penindakan pelanggaran yang profesional dan tanpa pandang bulu, peran sebagai mediator dan adjudikator handal dalam penyelesaian sengketa, dan sebagainya. Tentu semuanya harus tetap dalam bingkai integritas dan profesionalitas sebagai penyelanggara," imbuh manta tim seleksi Panwaslu Kabupaten/Kota Se-Jawa Timur tahun 2017 ini.
Eka memiliki pengalaman panjang sebagai 'gender justice advocate'. Tak hanya di Jawa Timur, sepak terjang Eka dalam memperjuangkan hak-hak kaumnya di segala bidang membuat perempuan kelahiran Nganjuk ini memiliki jaringan kerja yang luas dan pengalaman bekerja dengan beragam lintas budaya. Perhatiannya pada isu gender membawa Eka beraktivitas tidak hanya di pelosok negeri dari Aceh hingga Papua, melainkan juga di sejumlah negara seperti Timoer Leste, Malaysia, Thailand, Filipina, Nepal, dan Amerika.
Sebagai spesialis gender, tugas utama Eka adalah mendorong pengarusutamaan gender di berbagai latar organisasi dan dalam pengelolaan program. Bidang keahliannya cukup beragam mulai dari isu gender based violence, human trafficking, gender and disaster, gender and maternal/neonatal health, dan sebagainya. Eka juga mengaku dirinya intens berkutat dengan isu gender and politics, terutama sejak awal tahun 2000 melalui lembaga lokal bernama Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (KPPD) yang fokus mendorong peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik.
Selain memberikan pelatihan penguatan pada legislator perempuan agar mampu menghasilkan produk kebijakan yang lebih adil gender, riset-riset terkait perempuan dan politik, serta pendidikan HAM dan demokrasi untuk pemilih, setiap kali mendekati momentum pemilu Eka bersama jaringan perempuan di Jawa Timur rutin memberikan pelatihan penguatan dan strategi pemenangan caleg perempuan lintas partai.
Kerjasama dengan lembaga-lembaga di tingkat nasional maupun internasional terkait isu ini juga pernah dilakoninya, diataranya dengan The Asia Foundation, Pusat Kajian Politk Universitas Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, dan sebagainya.
"Sebetulnya ini bermula dari riset yang dilakukan oleh KPPD mengenai keterwakilan perempuan dalam politik tahun 2012, dimana disproposionalitas perempuan dalam politik sangat tinggi. Tidak hanya dalam institusi penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, namun juga dari aspek penyelenggara pemilu, dimana representasi perempuan saat itu sangat rendah bahkan kurang dari 15% bila dibandikan dengan laki-laki. Akses politik perempuran sangat terbatas, namun mereka juga dihdapkan pada hambatan internal seperti modalitas politik dan mental block. Disi lain, sudah lama aktivis perempuan menyadari bahwa jika ingin mengubah situasi mereka harus masuk pada sistem pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan. Kami selama ini mendorong perempuan untuk masuk di jantung perubahan, yakni di arena pengambilan keputusan. Namun sebaliknya tidak banyak perempuan bahkan mereka yang aktivis yang punya cukup nyali untuk betul-betul bertarung di arena politik. Nah, berangkat dari latar itu saya diminta mewakili teman-teman kelompok perempuan ini untuk mendaftar menjadi penyelenggara pemilu di tahun 2013 dan 2014, meskipun masih belum berhasil saat itu. Jadi ini semacam strategi jaringan, yang bingkainya tetap gerakan perempuan."
Peluang Eka pun mulai terbuka ketika ia menjadi Tim Seleksi Panwaslu Kab/Kota Se-Jawa Timur 2017-2019. Dari situ pengetahuannya mengenai penyelenggara dan penyelenggara pemilu semakin terbuka. Dengan modalitas ini ia kembali mengikuti seleksi sebagai penyelenggara di tahun 2018, dan akhirnya berhasil terpilih sebagai anggota Bawaslu hasil penambahan untuk periode bakti 2018-2023.
Bagi Eka, nilai strategis menjadi anggota Bawaslu bukan saja kesempatan untuk lebih dekat memotret potential barriers yang dihadapi perempuan dalam bingkai demokrasi elektoral. Lebih dari itu, prinsip inklusifitas demokrasi mengandaikan kehadiran dan keterlibatan aktif semua kelompok sosial terutama mereka selama ini terpinggirkan. Langkah afirmasi dengan menambah jumlah perempuan untuk menjadi Srikandi Pengawas Pemilu merefleksikan komitmen Bawaslu untuk terus memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. Meski menurut Eka, komitmen ini harus terus dijaga, sala satunya dengan memastikan gender concerns masuk di semua aspek dan tahapan pemilu, mengingat Bawaslu bukan hanya sebagai implementator melainkan juga regulator penyelenggaraan pemilu.
Disamping kompetensi, membangun rasa percaya diri dan sisterhood Srikandi ini penting menurut Eka, karena hanya dengan demikian potensi terbaik dan solidaritas antar pengawas bisa dibangun. "Mungkin pertama pintu masuknya bisa lewat isu yang khas perempuan. Tapi tujuan jangka panjangnya adalah dalam rangka membangun soliditas pengawas dan mengeluarkan potensi terbaik mereka dalam melakukan tugas utama pengawasan", pungkas Eka.
Ekspektasi publik sangat tinggi terhadap pelaksanaan pemilu yang berintegritas dan berkualitas. Apalagi, terdapat trend makin beragamnya modus kecurangan atau pelanggaran pemilu dari masa ke masa. Maka Bawaslu dituntut untuk membuktikan diri, bahwa dengan kewenangan baru yang dimiliki lembaga ini mampu memenuhi ekspektasi publik itu.
Srikandi Pengawal Demokrasi
Bawaslu Jawa Timur
Saya suka ngopi, novel dan sepak bola
Dewi Lestari dalam Novel Filosofi Kopi menulis: Kita tidak bisa manyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetaplah Kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Ely berusaha melampui kopi, tak hanya sekadar rasa. Ia ejawantahkan dalam tugasnya sebagai Bawaslu Jatim. Kopi yang Ely suka adalah peleburan rasa yang pas. tak terlalu pahit dan manis. Pengawasan juga mesti belajar pada kopi. tidak berat sebelah. Harus pas dengan aturan.
Novel bagi Ely adalah bacaan yang memanjakan imajinasi. Albert Einstein percaya imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Imajinasi melampui dunia, merangsang kemajuan dan melahirkan evolusi. Imajinasi yang kuat membentuk pribadi yang ramah, memanusiakan yang lain dan bebas dari identitas formal yang membelenggunya. Sepak Bola mengajarkan tentang strategi. Zona Marking dan man to man marking harus jelas. Kerawanan pemilu harus terdeteksi sejak dini. Pelanggaran bisa dicegah. Ely membawa strategi sepak bola dalam kerja pengawasan. Juventus adalah club favoritnya. Jauh sebelum Ronaldo pindah dari Real Madrid.
Penyuka kopi, novel, dan sepak bola ini memiliki nama lengkap Nur Elya Anggraini. Biasa dipanggil dengan Ely. Kini Komisioner Bawaslu Jawa Timur. Salah satu pembeda dari komisioner lainnya adalah tumpukan puluhan buku di atas mejanya. Buku-buku dengan bagai varian dan tema. Ia adalah pecinta buku. Ely tidak hanya mengoleksi buku-buku seputar dunia kepemiluan. Namun buku-buku lain menjadi sahabat setia dalam pekerjaannya. Selintas dapat dilihat ada beberapa buku tentang dunia pemilu, berjudul Menguak Politik Kartel; Studi tentang Kepartaian di Indonesia era Reformasi, karya Kuskrido Ambardi dan buku selebritisasi Politik, karya Dr. Sufiyanto, mantan Ketua Bawaslu Jawa Timur.
Jika anda pergi ke kantornya, di jalan Tanggulangin No.3, Kepatren, Tegalsari, Kota Surabaya, maka juga akan bertemu dengan buku-buku dari Pramodeya Ananta Toer, Leo Tolstoy, Gabriel Garcia Marquez, George Orwell, Ernest Hemingway, Laksmi Pamuntjak, Eka Kurniawan, Martin Aleida, Ayu Utami, Leila S. Chudari dan novel-novel lainya. "Saya juga suka baca buku-buku gender, Ecofeminismenya - Vandhana Siva, Analisis Gender dan Transformasi Sosialnya - Mansour Fakih, dan Dekonstruksi Seksualitas Poskolonialnya Yasir Alimi" Ceritanya.
Ely menjadi komisioner Bawaslu sejak tahun 2018. Setelah sebelumnya menjadi Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur. Aktif sebagai anggota penyiaran ini tidak bisa dipisahkan dari jejaknya sebagai jurnalis. Ely pernah aktif di Radio Prosalina FM, radio lokal di Jember sebagai jurnalis dan penyiar berita selama 9 tahun.
Aktivitas sebagai jurnalis ini memang telah Ely jalani saat menjadi mahasiswa di Universitas Negeri Jember. Ely aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Prima FISIP Universitas Jember hingga menjadi Pimpinan Umum. Pengalaman yang panjang dan memiliki cerita duka ini telah membentuk Ely sebagai jurnalis dan penulis sekaligus.
Nur Elya Anggraini lahir di Bangkalan 13 Januari 1983. Ely kecil adalah santri di Pondok Pesantren Syaikhona Kholil. Ia adalah satu di antara ratusan santri putri di salah satu pondok penting dalah sejarah Nahdhatul Ulama. Ely mondok dalam usia belum genap 10 tahun. "Saya di Pesantren itu dulu masih merah. Kecil Sekali." Kenangnya.
Di usia masih anak-anak, Ely juga memilih untuk sekolah diluar pesantren. Tidak banyak yang seperti Ely. Jika dihitung, dari sekitar 500 orang hanya 20 santri yang sekolah di luar pesantren. Karena memang saat itu, pesantren sendiri belum menyediakan sekolah formal. Oleh sebagian orang, pesantren sebagai lembaga pendidikan sudah dianggap cukup untuk perempuan. Dimana setiap waktu shalat dilakukan berjamaah. Pagi dan sore hari kajian kitab. Malam hari untuk Muthalaah. Bagi sebagian pesantren dulu di zamanya, siang hari digunakan untuk madrasah diniyah.
Sebagian orang lain menganggap, bahwa perempuan tidak perlu lagi sekolah formal. Karena tidak ada gunanya. Tidak layak untuk bekerja di ruang publik. Ali-alih menjadi Bupati, Gubernur, dan Presiden. Bahkan imajinasi untuk keluar dari rumah bagi perempuan tanpa pendamping adalah suatu yang tabu. Pada era 90-an, Ely dibesarkan dari desa yang tidak mendukung secara kultural partisipasi publik perempuan. Namu demikian, dalam dirinya muncul keberanian untuk sekolah di luar pesantren. Suatu hal yang jarang dimiliki oleh anak perempuan seusianya dulu.
Apalagi kala itu, Ely belum baca wacana gender. Ia hanya dihadapkan dengan teks-teks kitab pesantren dan keluguan sebagai santri putri. Keberanian untuk sekolah formal adalah lompatan penting yang menyejarah. Saat ia harus menembus tebalnya patriarkhi dipedesaan Madura. Berutunglah dirinya karena didukung oleh orang tua yang selalu melimpahi kasih sayangnya. Jika saat itu Ely tidak melanjutkan sekolah formal, maka sudah dipastikan tidak akan pernah melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi. Pilihan beda dan penuh resiko telah ia pilih sejak kecil. Tampaknya hal itu juga menjadi karakternya hingga dewasa.
Pengalaman sebagai santri itu hingga kini demikian membekas dalam dirinya. Ely adalah santri yang peduli kepada santri pula. Nampaknya gagasan Bawaslu Jatim dengan melibatkan santri dalam pengawasi pemilu adalah hal yang jitu untuk Ely. "Santri itu ikon Jawa Timur." Paparnya.
Ely pernah menjalani sebagai aktivis di organisasi dan pernah melakukan kerja-kerja social. Sebagai aktivis, Ely dimulai dari menjadi anggota dari Ikatan Pelajar Putri Nahdhatul Ulama (IPPNU) Bangkalan. Sejak menjadi mahasiswa di FISIP Universitas Jember, Ely mulai aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Mulai dari Rayon FISIP Universitas Jember sebagai bendahara, PMII Cabang Jember sebagai Bendahara dan Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Jawa Timur sebagai Tim Media. Selepas dunia mahasiswa, Ely kini juga tercatat sebagai bagian dari Fatayat Kota Jember.
Sebagai aktivis, Ely berhasil memadukan dua hal yang sulit bisa ditempuh oleh aktivis lainnya. Yakni menyeimbangkan antara kuliah dengan kegiatan social. Ely berhasil lulus S1 dengan cukup baik di Universitas Jember sejak kuliah tahun 2001 di Jurusan Studi Administrasi Negara, dan berhasil menempuh S2 pada kampus yang sama. Kegiatan yang diingat oleh Ely sebagai aktivis social adalah saat bersama teman-temannya menggagas Rumah Pelangi Padasan dan pendamping anak TKI yang terjerat NAPZA. Ely bercerita, bahwa Rumah Pelangi Padasan adalah rumah inspirasi untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Terdapat sekitar 50 anak yang diberdayakan dalam beberapa kegiatan yang menunjang terhadap kecerdasan dan ketrampilan. Rumah Pelangi Padasan ini terletak di Dusun Padasan, Desa Darsono Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember.
Selain itu, Ely juga aktif melakukan pendampingan TKI yang terkena NAPZA. Lokasi pendampingan terletak di Desa Ledokombo Kabupaten Jember. Ely mendampingi setidaknya 19 anak usia SD dan SMP yang terdeteksi pengguna NAPZA yang ditinggal keluarganya yang keluar negeri menjadi TKI. Berbagai pengalaman sebagai aktivis, jurnalis telah membentuk sosok Ely yang mampu berkomunikasi dengan berbagai pihak dan memahami pentingnya teamwork dalam mencapai sasaran dan tujuan yang akan dicapai bersama.
Keterlibatan Ely pertama kali ke dunia pemilu berawal sejak tahun 2015, saat Ely menjadi anggota Panitia Pengawasan Pemilih (Panwaslih) Kabupaten Jember dengan Jabatan sebagai Koordinator Divisi Pengawasan. Pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan dari berbagai referensi buku-buku tentang pemilu, juga berhasil menggerakkan Ely untuk menulis gagasannya di berbagai media.
Setidaknya terdapat beberapa tulisan yang terbit di berbagai media. Di antaranya, Depolitisasi Masjid, terbit di Koran Radar Jember pada 13 April 2018; Hoax dan Kedaulatan Pemilu, yang terbit di Koran SIndo pada 2 Mei 2018; Menegakkan Kedaulatan Pemilu Bersama Santri, terbit di Duta Masyarakat pada 3 Mei 2018; Media Penyiara dalam Pusaran Pemilu, terbit di Portal Media Opini IDencer. Cermin Demokrasi yang Retak, terbit di Prokon Aktivis, 2004.
Selai gagasan, Ely juga memiliki komitmen mengawal demokrasi. Ely menganggap bahwa syarat utama agar dapat mengawal demokrasi adalah dapat menyelenggarakan pemilu yang bebas dari pelanggaran. tentu saja untuk dapat melaksanakan pemilu yang bersih mensyaratkan adanya kesadaran dan partispasi berbagai elemen dalam mengawal pemilu. Untuk itu, harus ditopang oleh kepastian hukum yang jelas terhadap pelanggaran pemilu. Ely tidak menginginkan kasus pada 2015 kembali terulang. Saat para pelanggar yang menggunakan money politic dalam mempengaruhi pemilih belum disediakan pasal pemidanaanya.
Bagi Ely, pemilu yang bersih dan bebas pelanggaran akan menciptakan kepercayaan (trust) masyarakat. Saat masyarakat sudah percaya, maka akan mendorong terhadap partisipasi masyarakat dalam mengawal demokrasi. "Jika yang terjadi sebaliknya, maka kita hanya akan melaksanakan pemilu prosedural, yang kehilangan substansi dan kepercayaan masyarakat." ujarnya.
Untuk memulai narasi narasi itu, Ely berupaya memulai komitmen itu dari dirinya sendiri sebelum mengawal demokrasi. "Tidak pernah dalam diri saya harus menggadaikan kredibilitas, integritas, dan moralitas dalam mencapai apapun. Karena jabatan yang diraih harus berlandaskan nilai-nilai keikhlasan dengan sandaran agama dan norma."
Tidak ada panggung depan atau panggung belakang yang berbeda. Karena semua dilakukan adalah dalam upaya untuk benar-benar ikhlas dan berkomitmen dalam menjaga demokrasi. Ely melakukan upaya untuk menjaga kadaulatan demokrasi yang dimulai dari dirinya dan diimplementasikan ke lingkungan sosial. Dengan kata lain, ada upaya internalisasi dan eksternalisasi. Sebagai eksternalisasi berawal dari apa yang ada didalam diri yang diwujudkan keluar dari dalam bentuk kongkret.
Kini Ely terus berjuang untuk demokrasi. Komitmennya ia rawat bersama kerja-kerja kepemiluan. Ada rakyat yang mendambakan pemilu bersih menjadi tanggungjawabnya. Sebagaimana juga ada kasih sayang keluarga dalam jejak karirnya.
Tentu saja untuk dapat melaksanakan pemilu yang bersih mensyaratkan adanya kesadaran dan pertisipasi berbagai elemen dalam pengawal pemilu. Untuk itu, harus ditopang oleh kepastian hukum yang jelas terhadap pelanggaran pemilu.
Jurnalis yang
Nyasar ke Bawaslu
Pria yang tidak bisa berpisah dari rokok dan kopi
Poer, demikian teman-teman memanggilnya. Mungkin karena melafalkan nama Purnomo Satriyo Pringgodigdo agak susah dalam satu tarikan nafas. Meski arti namanya sebetulnya sangat bagus, yaitu kesatria gagah berani yang bersinar-sinar. Mungkin ini merefleksikan harapan orang tuanya, bahwa kelak sang anak akan menjadi kesatria gagah berani penegak keadilan.
Layaknya kesatria dalam kisah Pandawa, cukup dengan memperhatikan postur tubuhnya orang akan mudah mengasosiasikannya dengan tokoh Bima yang lekat dengan senjata Gadanya. Tokoh yang dalam pewayangan bernama Werkudara ini konon bertubuh tinggi dan besar, gemar makan, sangat kuat, dan berwajah paling sangar diantara saudara-saudaranya, walau sebetulnya memiliki hati yang baik. "Mau bagaimana lagi, postur tubuh saya memang begini. Besar, hitam, brewokan," katanya tertawa lepas.
Dilahirkan di Surabaya pada 37 tahun yang lalu, pria yang tidak bisa berpisah dari rokok dan kopi ini menghabiskan masa kecilnya di Jakarta. "Baru kelas satu SMP saya pindah ke Surabaya, ke SMPN 6 dan mungkin karena anak pindahan ya, you won't belive it, saya cenderung pendiam kala itu," cengirnya.
Baru ketika duduk di bangku SMA 9 pergaulannya semakin luas dan jiwa oranisasinya tumbuh. Beragam organisasi diikutinya mulai dari Paskibra, Palang Merah Remaja, Sie Kerohanian Islam dan OSIS, "Mulanya sih motivasinya untuk mencari banyak teman, tetapi lama-lama jadi keasyikan sendiri ikut kegiatannya, seakan energi tak habis untuk mengikuti beragam kegiatan itu setiap hari."
Sebagai orang yang menekuni hukum, hari-hari Poer dihabiskan dengan tenggelam dalam lautan pasal. Ia bisa begadang sampai pagi hanya untuk menyelami bahasa peraturan dan undang-undang. Di kantor, Koordinator Divisi Hukum, Data dan Informasi Bawaslu Jatim ini juga lebih banyak menghabiskan waktu di depan laptop dan tumpukan buku di mejanya. Buku tentang hukum, tentunya. Jika digoda oleh sesama rekan komisioner, jawabnya singkat saja. "Semua akan dihukum pada waktunya."
Kegemarannya membaca peraturan dan perundang-undangan sering memicu inisiatif untuk membantu orang lain dengan membuat catatan di blog pribadinya, (https://pringgodigdoinstitute.wordpress.com), harapanya memudahkan orang lain memahami bahasa hukum yang sulit dalam peraturan kepemiluan. Beberapa inisiatif itu antara lain membuat kompilasi Undang-undang Pilkada dalam 1 Naskah, Buku Saku Ketentuan Pidana Pemilu, dan Buku Saku Ketentuan Pidana Pilkada.
Ketertarikan Poer untuk menekuni dunia hukum berawal dari kegemarannya melihat serial layar kaca LA Law yang diputar di Indonesia pada tahun 90-an. Kala itu ia masuk duduk dibangku SMP. Tapi adu kecanggihan argumen hukum dan kepiawaian para pengacara di ruang sidang membangkitkan minat dan kecintaannya belajar hukum. "Mereka terlihat keren di ruang sidang. Dan saya pengen suatu saat bisa sekeren mereka ketika membuat argumentasi hukum," kenang Poer.
Dan jadilah, ia masuk ke Fakultas Hukum di Universitas Brawijaya. Kampus yang mengasah penalaran hukumnya. Menempa jiwa organisasinya. Di kampus ini pula ia terpanggil untuk bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam, yang saat itu tercatat sebagai organisasi yang aktif dalam menyikapi fenomena-fenomena kemasyarakatan di Kota Malang.
Dan seperti kutukan, hidupnya ternyata tidak jauh-jauh dari hukum. Semasa menjabat komisioner KPU Surabaya ia juga menggawangi Divisi Hukum. Dimanapun ia berkiprah, hukum selalu ada dalam pikirannya. Di dalam tas dan laptopnya. Di dompetnya. "Penghasilan pertama saya, ya dari hukum. Saya tiga tahun bekerja di LBH sedari mahasiswa. Meski saat itu banyak pekerjaan yang kental bersifat kerelawanan dan pro-bono, tapi saya tidak dapat uang saku sendiri. Lumayan bisa buat jajan bakso," tawanya berderai.
Ibarat bermain kartu, kahadiran Poer di dunia kepemiluan sebetulnya bukanlah wajah baru. Pria lulusan Magister Hukum Universitas Indonesia ini sebelum di Bawaslu Jatim sudah pernah mengabdi di Bawaslu Sumsel pada tahun 2013.
Selanjutnya, ia sempat menjadi komisioner KPU Surabaya untuk periode bakti 2014-2019. Namun nasib baik menuntunnya mendaftar menjadi anggota Bawaslu Jatim. Menjadi bagian Bawaslu Jatim diakuinya menjadi tantangan yang menarik untuk beraktivitas di lembaga ini.
"Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberi kewenangan yang sangat besar untuk Bawaslu. Ia bisa menjatuhkan sanksi administrasi kepada peserta pemilu dalam hal terjadi pelanggaran. Dari sisi kewenangan menyelesaikan sengketa misalnya, Bawaslu bisa menyelesaikan perselisihan antara peserta pemilihan umum KPU. Ini bisa membuat Bawaslu harus bekerja ekstra keras, sekaligus kerja cerdas dan lebih berintegritas,"
pungkasnya.
Undang-undang No.7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberi kewenangan yang sangat besar untuk Bawaslu. Ia bisa menjatuhkan sanksi administrasi kepada peserta pemilu dalam hal terjadi pelanggaran.
Pengawal
Hukum Pemilu